Sedulang Timah Pendulang Toleransi
oleh: Nurkholis Ainunnajib (English 2009)
Potret indah multikulturalisme di Indonesia kembali tercoreng. Puluhan rumah dibakar dan beberapa orang terluka akibat pertikaian antar suku di kampung Yoka, Jayapura, Papua. Kerusuhan antar suku ini dipantik oleh isu relatif kecil; karena lirik lagu dalam nada dering ciptaan segelintir orang dari suku Yoka yang dirasa menyinggung suku Wamena (Koran Tempo, 18/11). Ya, relatif kecil karena ini sebenarnya ulah sekelompok kecil orang yang menarik keterlibatan massa yang lebih besar. Dan ini bukanlah konflik pertama di Papua yang diawali oleh ulah individu perusuh. Di kabupaten Tolikara Juli 2010, dua suku berseteru gara-gara permasalahan rumah tangga salah seorang anggota suku. Satu dekade silam, ‘perang’ pecah di pasar Abepura (Simanjuntak, 2006) akibat dua anggota suku pribumi menolak membayar minuman di kedai milik warga pendatang. Perusuh itu memukul si penjual dan akhirnya rasa ‘solidaritas’ intern suku menggerakkan anggota lain dari suku pendatang ini untuk mengeroyok kedua orang tadi. Sekali lagi, dengan dalih ‘solidaritas’, suku pribumi yang tinggal di sekitar pasar pun membela anggotanya dengan balik menyerang. Kerusuhan pun tak terhindarkan karena polisi terlambat datang.
Satu hal yang bisa kita cermati, dari serentetan konflik di atas, ada ikatan solidaritas dalam masing-masing suku yang sangat berperan. Dan umumnya, salah satu kubu yang bertikai itu adalah suku pendatang, melawan suku pribumi. Apakah solidaritas mutlak kepemilikan intern suku? Tak bisakah suku pendatang dan pribumi menciptakan solidaritas yang sama kuatnya? Memang, selama ini kita sering mendengar adanya semacam perebutan kekuasaan di daerah migrasi. Penduduk pribumi merasa bahwa itu tanah mereka, sedangkan penduduk migran juga menganggap bahwa mereka berhak hidup dan mencari pekerjaan di belahan bumi manapun. Jika tidak ada pihak yang mau menengahi dan mengupayakan kesetaraan di antara mereka, kemungkinan besar konflik akan terjadi. Namun jangan pesimis dulu. Meski jarang diekspos, ada cukup banyak potret masyarakat multikultur yang bisa menciptakan solidaritas yang harmonis. Salah satunya masyarakat di kecamatan Pemali, Bangka Belitung, yang dipotret secara apik dalam film dokumenter Nahary Latifah bertajuk Sepintu Pemali, Sedulang Timah (2009).
Dalam film berdurasi singkat itu, kita bisa melihat bagaimana kaum migran dari berbagai suku bisa hidup damai berdampingan bersama penduduk asli, suku Melayu. Nyaris tak pernah terdengar konflik antar suku di bumi Laskar Pelangi itu. Bahkan tradisi saling berkunjung di hari raya masing-masing masih berlangsung, meski tanpa saling mengucapkan selamat (yang notabene dilarang oleh sebagian agama).
Agaknya kita perlu merunut histori ‘penciptaan’ komunitas ini, agar kita bisa belajar darinya.
Pada mulanya, penduduk Pulau Bangka dan Pulau Belitung adalah orang-orang suku laut dari berbagai pulau, termasuk dari Pulau Sulawesi, Kalimantan, Suku Bugis, Johor, Siantan yang Melayu, campuran Melayu-Cina, dan juga asli Cina, berbaur dalam proses akulturasi dan kulturisasi. Kemudian datang pula orang-orang Minangkabau, Jawa, Banjar, Kepulauan Bawean, Aceh dan beberapa suku lain yang sudah lebih dulu melebur. Lalu jadilah suatu generasi baru: Orang Melayu Bangka Belitung.
Gelombang migrasi terjadi lagi pada masa Sultan Palembang di awal abad 18, ketika timah pertama kali ditemukan di Pulau Bangka. Kuli-kuli kontrak dari daratan Cina didatangkan ke Bangka untuk memenuhi kebutuhan tenaga penambang timah. Kebutuhan tenaga itu terus meningkat sehingga pada perkembangannya, tidak hanya kaum Cina yang berdatangan, melainkan juga beragam etnis dari seluruh Indonesia. Bahkan hingga saat ini, Bangka masih dianggap sebagai surga bagi kaum migran dan menduduki peringkat ke-6 laju pertumbuhan nasional, dengan sebagian besarnya kaum pendatang (Bangka Pos, 26/10). Jadi masyarakat Bangka Belitung sudah terbiasa untuk hidup dalam budaya multikultur.
Seperti yang disebutkan di atas, pada umumnya, konflik antaretnis di daerah tujuan migrasi dipicu oleh kesenjangan sosial. Masuknya perusahaan-perusahaan luar makin memperparah keadaan ini. Para pendatang lazimnya mendapat kedudukan yang lebih tinggi dalam struktur perusahaan, sementara penduduk asli hanya menjadi buruh kecil dan kehilangan hak atas kekayaan alam tanah mereka sendiri, karena rendahnya pendidikan dan keterampilan yang mereka miliki. Sebut saja, BP-LNG Bintuni dan perusahaan penangkapan ikan di Kimaam, Papua. Bahkan mereka turut menghancurkan pencaharian mereka dengan membatasi daerah tangkapan ikan bagi penduduk lokal dan juga membatasi harga jual (Simanjuntak, 2006).
Nah, belajar dari Belitong, meskipun di sana ada beberapa perusahaan penambangan timah, mereka masih memberi kesempatan penduduk untuk mendulang timah sendiri secara inkonvensional, tanpa naungan perusahaan. Penduduk pribumi dan pendatang di Pemali rata-rata menjadikan pendulang timah sebagai mata pencaharian mereka. Perasaan senasib inilah yang menjadikan mereka bisa hidup berdampingan tanpa merasa tersaingi satu sama lain.
Pluralitas dalam masyarakat multikultural adalah fakta yang tak bisa dihindari, namun kita tidak bisa menuduhnya sebagai penyebab konflik. Konflik akan terus ada selama kita mempermasalahkan fakta tersebut (Ujan, 2009). Masyarakat Pemali memahami hal itu dengan mengembangkan solidaritas multikultural. Masing-masing dari mereka mampu melihat golongan yang berbeda suku, ras, dan agama sebagai fellow traveller yang mempunyai tujuan yang sama, menjadi hamba Tuhan sekaligus warga negara yang taat.
Salah satu contoh prinsip yang dipegang kaum Cina di Pemali menunjukkan bahwa mereka sangat menjunjung tinggi toleransi, “thong ngin”/orang Cina dan “fan ngin”/orang Melayu adalah “jitjong”/sama. Bisa jadi, mereka berpikir bahwa tujuan bersama mereka adalah mendulang timah sebanyak-banyaknya, sehingga mereka melihat suku lainnya sebagai rekan sejawat yang harus dibantu, bukan sebagai saingan.
Jika sedulang timah di Pemali bisa menumbuhkan toleransi di antara masyarakat beragam kultur, kenapa sebongkah emas di Papua tidak? Memang dibutuhkan kerja keras untuk mewujudkan cita-cita itu, tapi setelah melihat contoh dari masyarakat Pemali, rasanya hal itu bukanlah sesuatu yang mustahil.
Referensi:
Latifah, N., Sepintu pemali, sedulang timah. 2009
Omona, J. 2010. Kampung Yoka, Jayapura, diserang. Koran tempo. 18 November 2010.
Simanjuntak, J. 2006. Konflik di distrik abepura kota jayapura. Diakses dari www.titiandamai.or.id/DB/file/laporan/Jefry%20Simanjuntak.pdf pada tanggal 18 November 2010.
Ujan, A.A., dkk. 2009. Multikulturalisme: Belajar hidup bersama dalam perbedaan. Jakarta: Indeks.
3 tahun penambangan timah. Diakses dari www.bangkapos.com pada tanggal 18 November 2010.